Langgar UU Ketenagakerjaan, Manajemen PT Hanjung Akui tak Bayarkan BPJS
Bandar Lampung, BP
Persoalan yang dihadapi karyawan PT. Hanjung Indonesia semakin kompleks, setelah gaji mereka mengalami pemotongan 50 persen sejak bulan April 2017, dan 2 bulan terakhir tidak dibayarkan sama sekali. Kini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Tenaga Kerja sejak bulan Juni 2017 dan Jaminan Hari Tua (JHT) sejak Januari 2017 belum dibayarkan oleh PT. Hanjung Indonesia.
Hal itu dibenarkan Iwan Mustofa selaku Manajer General Affair PT Hanjung Indonesia Bandar Lampung, saat dihubungi via Whatsapp, Kamis (9/11) kemarin.
“Yang dilaporkan Bapak Arijoni itu memang benar kondisi saat ini. Sejak Januari 2017, PT Hanjung tidak membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan dan sejak bulan September 2017 tidak membayar kewajiban BPJS kesehatan,” jelas Iwan.
“Jadi, semua karyawan PT Hanjung tidak dapat menggunakan BPJS kesehatan untuk berobat,” tambahnya.
Saat ini, dikatakan Iwan, perusahaan sedang dalam proses PKPU sejak Maret 2017. “Tunggakan BPJS Ketenagakerjaan itu sudah tidak dibayar sebelum masa PKPU ada,” katanya.
Meski tidak menjawab secara langsung pertanyaan Bongkar Post, terkait PT Hanjung melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun hal itu tersirat diakui Iwan. “Iya, di UU No. 13 tahun 2003 seperti itu,” tandasnya.
Diakuinya, bahwa para pekerja PT Hanjung sudah tidak ada yang aktif bekerja. “Yang kontrol di Hanjung orang expatriate - nya saja,” jelasnya.
Sebelumnya, pada Rabu (8/11), Ari Joni, AS salah seorang karyawan PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung melapor ke Polda Lampung, dengan Laporan Polisi Nomor: LP/1293/XI/2017/SPKT tanggal 8 November 2017.
Ari Joni yang didampingi Penasehat Hukumnya Gindha Ansori Wayka, dari Kantor Lembaga Bantuan Hukum Cinta Kasih (LBH-CIKA) menyatakan, bahwa pada saat ia mengantar istrinya berobat BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja dengan Nomor 0001129629159 ternyata berstatus non aktif karena Premi belum dibayarkan oleh PT. Hanjung Indonesia sejak bulan Juni 2017, sementara JHT terakhir dibayar bulan Januari 2017.
“Saya mengantar istri saya berobat, ternyata BPJS Kesehatan tidak dapat digunakan hingga hari ini karena belum dibayarkan oleh PT. Hanjung Indonesia, oleh karenanya saya laporkan ke Polda Lampung karena berdasarkan Undang-Undang kedua hal ini harus dibayarkan sesuai pada waktunya," ujar Ari.
Sementara menurut Gindha, Manajemen PT. Hanjung Indonesia, seharusnya menyelesaikan hal tersebut meskipun perusahaan terancam pailit.
Selama karyawannya masih memiliki status sebagai tenaga kerja pada perusahaan yang bersangkutan, maka BPJS Kesehatan dan JHT harus dibayarkan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2) dijelaskan bahwa Pemberi Kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS (19 Ayat (1)). Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS (19 Ayat (2).
Apabila pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2) tidak dilakukan oleh Pemberi Kerja, maka sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 dapat dipidana selama 8 tahun penjara. “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 55)”.
Sebelumnya diketahui, puluhan karyawan PT Hanjung Indonesia mengadu ke Komisi V DPRD Lampung, dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung. Dalam aduannya, sebanyak 95 karyawan PT Hanjung menguasakan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cinta Kasih.
PT Hanjung tidak melaksanakan kewajibannya dengan memenuhi hak hak pekerja sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003.
Kuasa Hukum pekerja, Gindha Ansori menjelaskan, bahwa sejak tanggal 2 Januari 2016, karyawan PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung telah dirumahkan dengan alasan perusahaan tidak berproduksi, karena pailit. Akibatnya, gaji karyawan dipotong 50 persen sejak April 2017. Bahkan sejak dua bulan terakhir para karyawan tidak sama sekali menerima gaji.
Selain itu, PT Hanjung diduga telah melakukan pemindahan aset-aset perusahaan berupa alat-alat berat/mesin atas perintah pihak yang tidak diketahui, sedangkan permasalahan PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung belum memperoleh putusan resmi baik putusan dari PKPU maupun putusan dari Peradilan Niaga.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung untuk dapat memanggil PT Hanjung Indonesia untuk dimintai klarifikasinya atas penelantaran puluhan karyawan.
“Memanggil PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung untuk didengar keterangannya atas penelantaran pekerja/karyawan selama lebih dari 1 tahun dan mengambil langkah-langkah yang dibenarkan oleh hukum agar PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung segera menyelesaikan hak-hak pekerja yang menjadi tanggungjawabnya sebagaimana uraian angka 4 diatas, sebelum dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga,” terangnya. (tika)
Persoalan yang dihadapi karyawan PT. Hanjung Indonesia semakin kompleks, setelah gaji mereka mengalami pemotongan 50 persen sejak bulan April 2017, dan 2 bulan terakhir tidak dibayarkan sama sekali. Kini, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Tenaga Kerja sejak bulan Juni 2017 dan Jaminan Hari Tua (JHT) sejak Januari 2017 belum dibayarkan oleh PT. Hanjung Indonesia.
Hal itu dibenarkan Iwan Mustofa selaku Manajer General Affair PT Hanjung Indonesia Bandar Lampung, saat dihubungi via Whatsapp, Kamis (9/11) kemarin.
“Yang dilaporkan Bapak Arijoni itu memang benar kondisi saat ini. Sejak Januari 2017, PT Hanjung tidak membayar iuran BPJS Ketenagakerjaan dan sejak bulan September 2017 tidak membayar kewajiban BPJS kesehatan,” jelas Iwan.
“Jadi, semua karyawan PT Hanjung tidak dapat menggunakan BPJS kesehatan untuk berobat,” tambahnya.
Saat ini, dikatakan Iwan, perusahaan sedang dalam proses PKPU sejak Maret 2017. “Tunggakan BPJS Ketenagakerjaan itu sudah tidak dibayar sebelum masa PKPU ada,” katanya.
Meski tidak menjawab secara langsung pertanyaan Bongkar Post, terkait PT Hanjung melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan, namun hal itu tersirat diakui Iwan. “Iya, di UU No. 13 tahun 2003 seperti itu,” tandasnya.
Diakuinya, bahwa para pekerja PT Hanjung sudah tidak ada yang aktif bekerja. “Yang kontrol di Hanjung orang expatriate - nya saja,” jelasnya.
Sebelumnya, pada Rabu (8/11), Ari Joni, AS salah seorang karyawan PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung melapor ke Polda Lampung, dengan Laporan Polisi Nomor: LP/1293/XI/2017/SPKT tanggal 8 November 2017.
Ari Joni yang didampingi Penasehat Hukumnya Gindha Ansori Wayka, dari Kantor Lembaga Bantuan Hukum Cinta Kasih (LBH-CIKA) menyatakan, bahwa pada saat ia mengantar istrinya berobat BPJS Kesehatan dan Tenaga Kerja dengan Nomor 0001129629159 ternyata berstatus non aktif karena Premi belum dibayarkan oleh PT. Hanjung Indonesia sejak bulan Juni 2017, sementara JHT terakhir dibayar bulan Januari 2017.
“Saya mengantar istri saya berobat, ternyata BPJS Kesehatan tidak dapat digunakan hingga hari ini karena belum dibayarkan oleh PT. Hanjung Indonesia, oleh karenanya saya laporkan ke Polda Lampung karena berdasarkan Undang-Undang kedua hal ini harus dibayarkan sesuai pada waktunya," ujar Ari.
Sementara menurut Gindha, Manajemen PT. Hanjung Indonesia, seharusnya menyelesaikan hal tersebut meskipun perusahaan terancam pailit.
Selama karyawannya masih memiliki status sebagai tenaga kerja pada perusahaan yang bersangkutan, maka BPJS Kesehatan dan JHT harus dibayarkan.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2) dijelaskan bahwa Pemberi Kerja wajib memungut iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS (19 Ayat (1)). Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS (19 Ayat (2).
Apabila pasal 19 Ayat (1) dan Ayat (2) tidak dilakukan oleh Pemberi Kerja, maka sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 dapat dipidana selama 8 tahun penjara. “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 55)”.
Sebelumnya diketahui, puluhan karyawan PT Hanjung Indonesia mengadu ke Komisi V DPRD Lampung, dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung. Dalam aduannya, sebanyak 95 karyawan PT Hanjung menguasakan kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Cinta Kasih.
PT Hanjung tidak melaksanakan kewajibannya dengan memenuhi hak hak pekerja sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003.
Kuasa Hukum pekerja, Gindha Ansori menjelaskan, bahwa sejak tanggal 2 Januari 2016, karyawan PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung telah dirumahkan dengan alasan perusahaan tidak berproduksi, karena pailit. Akibatnya, gaji karyawan dipotong 50 persen sejak April 2017. Bahkan sejak dua bulan terakhir para karyawan tidak sama sekali menerima gaji.
Selain itu, PT Hanjung diduga telah melakukan pemindahan aset-aset perusahaan berupa alat-alat berat/mesin atas perintah pihak yang tidak diketahui, sedangkan permasalahan PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung belum memperoleh putusan resmi baik putusan dari PKPU maupun putusan dari Peradilan Niaga.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Lampung untuk dapat memanggil PT Hanjung Indonesia untuk dimintai klarifikasinya atas penelantaran puluhan karyawan.
“Memanggil PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung untuk didengar keterangannya atas penelantaran pekerja/karyawan selama lebih dari 1 tahun dan mengambil langkah-langkah yang dibenarkan oleh hukum agar PT. Hanjung Indonesia Bandar Lampung segera menyelesaikan hak-hak pekerja yang menjadi tanggungjawabnya sebagaimana uraian angka 4 diatas, sebelum dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga,” terangnya. (tika)
Posting Komentar